Rabu, 06 April 2016

SENI TARAWANGSA KAB. SUMEDANG

SELAYANG PANDANG 
TARAWANGSA

Tarawangsa lahir dari rahim imajinasi masyarakat Rancakalong, kemudian tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika perubahan jaman, unsur mitos (mitologi) telah mendorong pula terhadap perkembangan seni tersebut, secara perlahan-lahan dikenal oleh masyarakat luas, diterima sebagai kesenian tradisional masyarakat sumedang.

Mengenai sejarah asal-usulnya erat kaitannya dengan peristiwa alam yang dialami oleh masyarakat setempat. Mulanya masyarakat Rancakalong mengalami bencana kelaparan akibat musim kemarau terlampau panjang sehingga mematikan macam-macam dan jenis tanaman. Bahkan sulit mendapatlan benih padi. Kemudian masyarakat mencari tanaman dengan mengganti tanaman pokok padi oleh Hanjeli.

Alternatif makanan pokok dan memberikan harapan yang cerah, malah menimbulkan petaka terhadap salah seorang keluarga, yaitu tewas terjerumus ke dalam penggilingan Hanjeli. Sejak peristiwa itu terjadi masyarakat seakan trauma dan tabu menanam hanjeli. Kemudian kembali ke pada niat untuk menyuburkan tanaman padi sebagai makanan pokok sehari-hari. Namun sulit pula untuk memperoleh benih yang sungguh-sungguh baik, jangankan yang baik dalam kapasitas biasa sangat sulit didapat. Peristiwa mengenaskan itu terjadi kira-kira abad ke-8.

Salah seorang tokoh masyarakat bernama Wisanagara mengadakan perjalanan keliling ke daerah mataram (hindu) demgan cara mengamen, sarana ngamen menggunakan alat musik kecapi dilengkapi Rebab Tarawangsa yang dibuat dari kayu. Tujuanya untuk mencari benih padi. Dengan cara menyamar itulah Wisanagara DKK, medapatkan benih padi. Setibanya dikampung halaman disambut oleh masyarakat setempat, kemudian hujanpun turun, benih padi ditanam kembali menyubur. Sebagai tanda syukur menggelar seni tarawangsa, dilengkapi oleh upaca ritual yang disebut Ngalaksa, Sejak itulah Tarawangsa dikenal oleh masyarakat setempat. Pada hakekatnya dalam seni tersebut mencerminkan pandangan bahwa hilangnya binih padiakibat Nyi Sri (Dewi Padi) sanghilang atau pergi kealam swarga maniloka. Filosofisnya sebagai wujud pencerminan masyarakatagraris yang selalu menghormstitradisi leluhurnya.

Jenis Waditra
instrumen yang digunakan dalam Tarawangsa yaitu sebuah kecapi yang menggunakan senar (kawat) tujuh buah dan sebuah Rebab yang disebut Ngekngek, terbuat dari sebuh kayu dan menggunakn dua buah senar.Kecapi mempunyai fungsi sebagai pengiringlagu dan Ngekngek sebagai juru melodi, sewaktu-waktu senar besar digunakan sebagai pengganti Goong. Gesekan rebab itulah yang menunaskan ritual dan kesan unik yang tidak dimiliki oleh kesenian lain.

Jenis Lagu
  1. pangapung ialah menggambarkan pada Dewi Sri atau Dewi Padi terbang kealam nirwana (Ngahiang) sehingga benih padi lenyap. Lagu ini merupakan bagian awal dari pertunjukan.
  2. Pangemat ialah melukiskan do'a dan pengharapan dengan mengundang kehadiran Nyai Sri untuk kembali kealam bumi, dengan tujuan agar tanah dan padi tumbuh subur kembali.
  3. Pangampih menggambarkan ungkapan dalam menghormati Dewi Padi. Dengan mengajak mengajak untuk melaksanakan tata tertib dalam membenahi pada di dalam Lumbung atau Goah.
  4. Pangineban melukiskan ungkapan dalam mengukuhkan padi ditempatyang dimaksud, agar tidak mendapat gangguan apapun.
Lagu-lagulain yangdisajika sudah mendapat sentuhan pengaruh dari unsur lain seperti jejemplang,dsb.

Bentuk penyajian
Semula disajikan ditempat yang tertutup seperti didalam rumah atau ditempat-tempat tertentu. Fungsi instrumen sebagai pengiring tarian. Pada umumnya didukung oleh penari wanita dengan jumlah tertentu dan menggunakan komposisi tarian yang sederhana.Pemimpin prtunjukan disebut Saehu yang mempunyai peranan mengatur jalanya pertunjukan. Juru Soter ialah pengatur dan penentu giliran menari. Kemudian umumnya di temani penari lain, mereka di sebut mairan. Bila meneliti susunan pertunjukan terasa adanya unsur ritual yang sangat kental. Terutama peran saehu dan sesaji merupakan ciri khas ritualisme dalam seni ini. Dalam kontek perkembangan seni budaya masyarakat Sumedang, tarawangsa dapat di gelar di atas panggung atau di arena terbuka tanpa mengurangi aturan-aturan tradisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar